[ad_1]
MERCUSUAR.CO Magelng – Siang itu terik matahari serasa berlebihan. Tersingkap dari keramaian butiran keringat mulai berjatuhan hampir membasahi seluruh blues warna coklat itu. Seakan tak peduli, wanita itu tetap tersenyum menyambut raja-ratu pendatang menjajakan emasnya.
Raut sayup sayu itu berubah. Senyumannya pun semakin melebar ketika ada beberapa muda mudi menghampiri lapak jualannya. Bagaikan diguyur berlian, beberapa pemuda itu menghamburkan uangnya untuk membeli jajanan yang telah ia tata sejak pagi.
Wanita itu adalah Ipah (40) sosok paruhbaya yang menjajakan kopi dan aneka chiki ditengah kerumunan destinasi bianglala Taman Kyai Langgeng (TKL). Ternyata Ia sudah berjualan di tempat itu lebih dari lima tahun. Ipah, terpaksa melakoni pekerjaan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun hasilnya tak menentu tapi ia senang karena bisa mengelola keuangannya sendiri.
Ipah bercerita sebelum bekerja sebagai pedagang jajanan di TKL ia bekerja di tempat pembibitan di daerah Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Namun karena upah yang tidak sepadan ditambah berdampak pada kesehatan maka ia memutuskan untuk berjualan di TKL dengan hasil seadanya.
“sebelum ini saya bekerja di pembibitan. Pekerjaan saya mengemas tanah untuk bibit. per hari saya mendapatkan upah sekitar rp 20.000. itupun malamnya di tangan sakit pegel itu,” kata ipah.
Keputusan beralih profesi tidak berbuah manis. Saat itu pandemi mulai melumpuhkan seluruh ekosistem pariwisata. Secara langsung pekerjaan yang baru ia rintis dipaksa gulung tikar karena TKL harus tutup sesuai dengan peraturan pemerintah.
Sabar, ya, kata itulah yang terus dipegang dan dijadikan bekal untuk menjaga agar api di dapurnya tetap berasap. Hari demi hari ipah terkurung dirumah, menggantungkan kebutuhan kepada suaminya yang bekerja serabutan.
Tahun demi tahun corona mulai reda. regulasi untuk wisata pun mulai dilonggarkan. Itu menjadi cambuk bagi ipah untuk lekas merintis lagi usaha jajanannya.
Corona berlalu, TKL membuka akses kepada wisatawan dengan sejumlah ketentuan. Ipah pun mulai berjualan seperti sediakala. Bermodal retribusi dari pihak pengelola sebesar rp 4.000, ipah terus menebar senyum menawarkannjajanan kepada pengunjung.
” saat ini alhamdulilah corona sudah mulai lega. Namun kalau jualan seperti ini kan tidak mesti. Kadang banyak kadang sepi. Tergantung pengunjung mas,” ujar ipah sembari menyeduh kopi untuk pembeli.
Diceritakan, ipah bisa meraip untung lebih dari jajanannya ketika ada liburan sekolah dan momen momen tertentu saja. Terlepas dari momen momen itu, rupiah tidak bisa ditentukan.
” Kemarin rame mas, kan liburan sekolah. Tapi sekarang kan sudah mulai ramoung liburannya,” sahut ipah.
Namun begitu ipah tetap bersyukur dengan apa yang ia dapat. “Rejeki gak kemana,” kata-lata itu selalu dilontarkan dalam setiap kesempatan. Ternyata itulah yang digunakan sebagai landasan ipah mencari rejeki.
” Rejeki gak kemana, meskipun hasionya tidak menentu tetapi bisa nyambi pekerjaan lain dan bisa atur kesehatan,” pungkas ipah sambil tersenyum menyerahkan jajanan kepada sekelompok pemuda itu.(kim)
[ad_2]
Source link