Mercusuar.co, Jakarta – Agar tidak terlampau stress, kita mulai tulisan ini dengan anekdot “klasik” yang banyak diceritakan di masyarakat wartawan hukum dan kriminal. Konon, kabarnya, terjadi pembunuhan terhadap seorang foto model dan peragawati cantik. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan terkapar di lantai. Korban hanya mengenakan celana dalam dan kutang. Di badannya, ditemukan banyak luka. Hebatnya, dalam hitungan waktu hanya tiga hari, misteri kematian wanita bertubuh sexy tersebut sudah berhasil diungkap oleh polisi.
Pada hari keberhasilan pengungkapan kasus itu, Kapolres tempat kejadian perkara langsung mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan bagaimana kasus itu dapat cepat terbongkar. Penjelasannya gamblang, padat tapi sudah mencakup dasar-dasar yang diperlukan para wartawan menyiarkan beritanya. Setelah itu, seperti biasa, terjadi tanya jawab antara Kapolres dengan para wartawan yang berjubel di acara itu.
“Pak, kan korban ditemukan dengan pakaian minim. Apa warna celana dalamnya ?” tanya seorang wartawan infotainment yang ingin mengetahui lebih detail pernak-pernik pribadi korban.
“Merah!” jawab Sang Kapolres tanpa tedeng aling-aling.
Seorang wartawan lain, dari media yang lebih serius, mengajukan pertanyaan berikutnya, ”Apa motifnya?”
Menghormati para wartawan, tanpa ragu, Kapolres itu menjawab lagi, ”Kembang melati putih kecil!”
Mendengar jawaban itu, semua wartawan yang hadir tertawa terbahak-bahak. Ini lantaran maksud pertanyaan wartawan apa motif pembunuhannya, namun karena diajukan setelah pertanyaan apa warna celana dalam, Kapolres mengira, pertanyaannya masih terkait dengan motif celana dalam yang ditanya sebelumnya.
Dalam perkara pidana, sejatinya, motif menjadi sesuatu yang sangat penting. Motif dapat menentukan seseorang bersalah, atau tidak bersalah. Motif menentukan ada tidaknya mens rea (niat jahat) dari yang bersangkutan atau tidak. Dalam hukum pidana berlaku prinsip “actus non facit reum nisi mens sit rea” yang berarti suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap batin yang salah.
Selain itu motif dapat pula menentukan seberapa berat hukum yang pantas dijatuhkan, kalau orang yang disangka memang kemudian benar terbukti bersalah. Itulah sebabnya hal ini menjadi kontroversial dalam kasus sangkaan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Ferdy Sambo manakala dia masih menjabat sebagai Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan Polri. Setelah drama hampir sebulan, cerita yang terus berubah-ubah, sampai akhirnya Sambo dinyatakan sebagai tersangka, belum juga terkuak apa motif Sambo sebagai jenderal penjaga marwah polisi sampai menjadi mata gelap.
Semula beredar cerita, istri Sambo dilecehkan sehingga Sambo untuk menjaga dan membela harkat dan martabat keluarga, sampai tega menembak anak buahnya sendiri. Tapi cerita pelecehan seksual itu sudah dibantah oleh polisi sendiri. Setelah gelar perkara, disimpulkan tidak ada peristiwa pelecehan seksual tersebut. Kasusnya di “SP3” kan alias diberi Surat Penghentian Penyidikan Perkara. Tersangkanya kemudian dibebaskan. Perkara ditutup. Case closed.
Terus apa dong sebenarnya motifnya? Polisi sementara telah menetapkan tak akan mengungkap ke publik motif Sambo sampai dapat menjadi aktor intelektual pembunuhan. Alasan polisi setidaknya ada dua. Pertama, demi menjaga harkat dan martabat serta nama baik keluarga Sambo dan orang yang terkait. Kedua, polisi berpendapat, nanti di pengadilan motif ini juga akan terungkap.
“Kebijakan” Polri ini langsung mengundang banyak kecaman, lantaran selain dinilai aneh, juga bakal menjadi bumerang yang menggerogoti citra dan kewibawaan polisi sendiri. Jika dirangkum secara singkat, ada enam alasan kenapa motif pembunuhan oleh Sambo perlu dibentangkan secara transparan.
Pertama, belum diumumkannya apa motif Sambo sampai melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, bakal melahirkan banyak spekulasi, analisis, dan hoax soal apa sejatinya motif Sambo, yang justru merugikan kehormatan keluarga Sambo sendiri. Bakal banyak pula “penumpang gelap” yang sengaja memperkeruh suasana melalui berbagai “rekayasa” ketidakjelasan motif kenapa Sambo diduga sampai membunuh.
Dan benar saja. Begitu disebut apa motif Sambo yang sebenarnya tak bakalan diumumkan polisi, langsung berkeliaran berbagai spekulasi. HP saya saja dibanjiri dengan WA yang berisi berbagai kemungkinan motif yang mendorong Sambo sampai tega menghancurkan kariernya dan mencoreng citra Polri.
Salah satunya, dugaan Sambo merupakan perwira tinggi polisi memakai narkoba. Saat melakukan tindakannya, begitu informasi yang telah lalu lalang tersebut, Sambo sedang di bawah pengaruh narkoba. Makanya ketika mendengar ada kabar tidak baik tentang istri atau keluarganya, emosinya yang sedang di bawah pengaruh narkoba langsung meluap. Kesadarannya sedang hilang. Dia mengatur perencanaan penembakan tanpa pikir panjang lagi. Perencanaannya juga asal-asal sehingga mudah terbongkar.
Begitu juga lantaran masih di bawah pengaruh narkoba, masih versi berita ini, Sambo sempat mengumbar kalau dia dihukum, akan membongkar keburukan-keburukan Polri. Anggota polisi yang dalam keadaan normal, apalagi seorang perwira tinggi bintang 2, tak akan mau atau berani mengemukakan ancaman seperti itu. Hanya anggota yang tengah tidak sadar di bawah pengaruh narkoba saja yang senekat itu. Dan Sambo nekad karena dalam pengaruh narkoba.
Sesudah pengaruh narkoba hilang, Sambo kembali dalam keadaan sadar. Disana dia menyesal dan minta maaf kepada pihak-pihak yang dirugikannya, termasuk kepada Kapolri. Sambo juga setelah sadar mengakui semua perbuatannya dan bersedia menerima semua konsekuensi hukum perbuatannya. Dari mana asal muasal persepsi, analisis atau kabar ini, tak lain muncul memanfaatkan “kekosongan” motif pembunuhan oleh Sambo yang tidak diumumkan.
Belum lagi “informasi” itu hilang, sudah datang lagi informasi lain. Menurut informasi versi ini, Sambo sangat dekat dengan para bandar perjudian, bahkan dituding menjadi pelindung 303, istilah yang dipakai untuk perjudian. Sebutan ini diambil dari pasal 303 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang mengatur ancaman untuk orang yang terlibat perjudian.
Dalam versi ini, Joshua dianggap mengetahui operasi Sambo di dunia perjudian dan dikhawatirkan bakal menyebarluaskan. Maka Joshua pun di”dor!”. Informasi ini muncul begitu saja dan dapat pula ditelusuri di media sosial.
Sebelumnya, telah lebih dahulu beredar kabar akibat Sambo memiliki kekasih, dan seorang di antaranya Polwan, sudah dinikahinya pula, padahal keduanya sama-sama beragama Kristen yang tidak memungkinkan untuk poligami. Dalam versi ini Joshua diminta menyelidiki kebenaran berita ini oleh Putri, isteri Sambo. Ternyata, menurut versi motif ini, berita tersebut benar adanya. Joshua lantas melaporkannya ke Putri. Sambo berang. Berani sekali anak buahnya mencampuri urusan rumah tangganya. Didorong dendam, disiksalah Si Joshua dan diakhiri dengan pembunuhan.
Belakangan malah soal ini semakin “liar”. Disebutlah sang kekasih sudah hamil dan itu membuat Sambo kalut.
Sudah cukup sebegitukah informasi-informasi berkeliaran? Belum. Tak tanggung-tanggung, diapungkanlah kemungkinan Sambo seorang biseks. Perempuan oke, lelaki pun senang. Tentu dibubuhi pula siapa yang menjadi “pasangan” sesama jenis lelakinya.
Semua itu masih ditambah isu adanya teori konspirasi. Dianalisislah, Sambo punya satuan tugas khusus (satgasus) Merah Putih yang awal nya dibentuk untuk mendukung calon presiden tertentu. Belakangan Satgasus ini dinilai menjadi semacam lembaga bayangan Kapolri. Menjadi semacam organisasi dalam organisasi. Mau dibubarkan sudah mengakar dan kuat, sehingga sangat sulit. Disusunlah skenario ke arah yang dapat memudahkan pembubaran organisasi ini.
Ke depan, kalau motif tindakan Sambo masih belum dijelaskan juga, kemungkinan bakal muncul lebih banyak lagi spekulasi-spekulasi, persepsi, analisis dan juga hoax soal ini. Sampai nanti diungkapkan atau terungkap, kita tidak paham mana yang benar dan mana yang salah.
Satu hal yang pasti, dampak dari semua itu justeru menambah rusak harkat dan martabat Sambo. Tak hanya itu. Citra Polri pun dipandang masih melindungi oknum anggotanya yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Untuk itu, semakin cepat polisi mengumumkan motif perbuatan Sambo, makin cepat pula ketidakpastian dan keliaran tafsir maupun hoax akan berkurang dan lantas hilang.
Kedua, polisi menyatakan biarkanlah pengadilan nanti yang akan mengungkapkan motif tindakan Sambo. Pilihan ini mengandung resiko yang besar. Kenapa? Jarak antara proses perkara di polisi, kemudian ke kejaksaan dan akhirnya ke pengadilan, relatif cukup lama. Publik atau masyarakat pasti menilai, selama kurun waktu itu telah terjadi “rekayasa” terhadap motif yang sebenarnya. Dengan demikian, masyarakat luas meragukan motif yang diungkapkan di pengadilan kelak, benar-benar motif yang sesungguhnya. Terjadinya banyak kebohongan dalam kasus ini, menumbuhkan antipati masyarakat terhadap motif yang dikemukakan belakangan. Publik tak lagi mudah percaya yang nantinya disuguhkan di pengadilan.
Kalau dari awal ceritanya banyak kebohongan dan ada yang disembunyikan, pastilah yang muncul di pengadilan sudah hasil rekayasa yang tidak dipercaya. Oleh karena itu, meski sudah diungkapkan di pengadilan, publik masih menyimpan keyakinan, motif yang sebenarnya masih tetap ditutup-tutupi.
Makanya bukan tidak mungkin, setelah diungkapkan di pengadilan motif perbuatan Sambo, selain menjadi tidak dipercaya bakal muncul lagi analisis-analisis baru, persepsi-persepsi baru, komentar-komentar baru dan hoak-hoak baru, yang mengatasnamakan “yang sesungguhnya terjadi.”
Walhasil, pengungkapan motif di pengadilan tidak meredakan persepsi, analisis, dan dugaan apa motif perbuatan Sambo. Terjadi lagi ketidakpastian yang lagi-lagi merugikan Sambo dan polisi sendiri.
Ini juga membuktikan, semakin cepat pengungkapan motif tindakan Sambo, akan menghasilkan suasana yang semakin baik.
Ketiga, dengan tidak menjelaskan apa motif tindakan Sambo yang oleh sementara kalangan dinilai “sadis,” polisi mudah didakwa telah berlaku diskriminatif. Kenapa jika untuk masyarakat umum, termasuk beberapa tokoh, selalu diumumkan motifnya, sedangkan untuk Sambo tidak? Kenapa polisi membedakan Sambo dengan yang lainnya? Kenapa polisi diskriminasi, padahal di depan hukum semua subjek hukum sama? Dampaknya citra polisi akan tercoreng.
Dengan begitu semakin cepat, motif dugaan pembunuhan oleh Sambo, akan menjadi lebih kondusif buat polisi. Tuduhan polisi diskriminatif dapat ditangkis.
Keempat, penutupan motif dugaan pembunuhan oleh Sambo menimbulkan debat destruktif: harkat martabat siapa yang sebenarnya harus dilindungi oleh polisi? Apakah dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi) polisi diperkenan lebih melindungi harkat martabat perorangan, walaupun dia “oknum” polisi, ketimbang melindungi institusi polisinya sendiri , dan melindungi harkat dan martabat masyarakat.
Jangan dilupa, jika karena kasus pembunuhan yang dilakukan seseorang, dan motifnya diungkapkan polisi, kemudian harkat dan martabat orang itu (dan “komplotan” yang membantunya) menjadi hilang, itu bukan karena polisi. Bukan juga karena masyarakat. Tapi karena perbuatan terduga pelaku itu sendiri.
Logikanya, kalau Sambo melakukan dugaan pembunuhan berencana, lantas motifnya dibuka oleh polisi ke masyarakat luas, maka yang menghancurkan harkat martabatnya, ya Sambo sendiri, bukan polisi dan bukan masyarakat luas.
Disinilah polisi harus lebih menempatkan kepentingan harkat dan martabat instansi kepolisian dan masyarakat banyak, ketimbang seorang oknum polisi, meskipun yang bersangkutan berpangkat bintang dua dan pernah memangku jabatan strategis serta bergengsi di kepolisian.
Jika motif perkara Sambo tidak dibuat terang benderang dapat menimbulkan kesan polisi masih takut kepada Sambo. Setidaknya polisi dinilai melindungi kepentingan Sambo dengan mengabaikan kepentingan institusi polisi sendiri. Begitu juga polisi dapat dicap tak cukup sensitif untuk melindungi harkat dan martabat publik.
Kembali lagi, semakin cepat polisi membeberkan apa yang sebenarnya menjadi motif Sambo, akan memberikan kemanfaatan yang besar dan penting, baik untuk polisi sendiri maupun untuk masyarakat luas.
Keenam, jika polisi tidak juga membuka motif pembunuhan Sambo, menanamkan kesan kuat, dugaan kekerasan masih biasa terjadi dan dipakai di lingkungan kepolisian, bahkan telah membudaya di polisi. Tanpa kejelasan apa yang melatarbelakangi perbuatan Sambo, publik percaya memang kekerasan semacam itu sudah terbiasa di lingkungan polisi dan kebiasaan ini sengaja terus dipelihara polisi.
Makanya jika motif Sambo melakukan kekerasan tidak diungkap bakal memperkuat adanya dugaan kekerasan di lingkungan polisi. Sebaliknya, kalau motif Sambo diungkapkan, publik akan faham itu hanyalah pengecualian dan bukan budaya di polisi. Dengan begitu cukup kuat alasan untuk mengungkapkan secara terang benderang apa motif Sambo yang sebenarnya.T a b i k.*
#Wina Armada Sukardi, wartawan dan penulis senior