Mercusuar.co, Wonosobo – Tahun ini dengan sangat terpaksa Merti Bumi Desa Igirmranak tidak digelar besar-besaran karena masih ada pembatasan pengunjung untuk antisipasi penularan covid 19. Melibatkan hampir semua warga desa yang membawa tenong isi aneka makanan sebagai sedekah dan rasa syukur atas karunia panen dan hasil bumi, makanan ini nantinya di nikmati bersama oleh warga desa yang lain dan tamu undangan serta pengunjung yang hadir.
Suguhan wajib pada acara merti bumi adalah 7 bucu/tumpeng dan ingkung serta perlengkapannya, ratusan tenong isi makanan lengkap, jajanan pasar buah buahan dan lauk dari hasil bumi Igirmranak.
Rangkaian acara Merti Bumi dimulai dengan penyerahan panji-panji, pembacaan sejarah desa,pembacaan filosofi tumpeng dan tenong, macapat, pangkur, geguritan, sendratari merti bumi, potong tumpeng, sambutan-sambutan dan diakhiri dengan kembul bujono/makan bersama atau yang lebih dikenal dengan ambengan, dimana semua warga desa menyatu makan bersama dalam satu wadah, berbaur tanpa batas, tokoh agama tokoh masyarakat, pemdes, pejabat makan bersama dalam satu wadah, hal ini juga menjadi cara membangun kebersamaan dan kekompakan warga.
Walau perhelatan Merti Bumi Desa Igirmranak yang biasanya dilaksanakan sangat meriah tahun ini dilaksanakan dengan lebih sederhana, akan tetapi tidak meninggalkan semua rangkaian acara yang telah menjadi pakem acara.
Merti Bumi merupakan sebuah agenda rutin tahunan yang sudah dilaksanakan sejak tujuh tahun yang lalu, acara ini menjadi atraksi wisata bagi desa Igirmranak yang cukup diminati pengunjung. Arena penuh dengan suguhan kesenian mocopat, geguritan kuda kepang dan sendratari Merti Bumi yang semuanya dilakukan oleh warga desa Igirmranak sendiri.
Selain itu Merti Bumi juga menjadi cara yang dilakukan oleh pemerintah desa beserta Yayasan Puspa untuk melestarikan lingkungan melalui media seni budaya, yang bisa dicermati dari cerita dalam sendratari merti bumi yang menceritakan awal berdirinya desa, terjadinya eksploitasi lahan yang berlebihan adanya kerusakan lingkungan dan upaya pelestarian lingkungan yang harus dilakukan oleh warga desa, semua itu dilambangkan dengan gerak tari yang luwes dengan atribut yang dibuat sendiri oleh warga desa.
Dalam sambutannya Kepala Desa Igirmranak menyampaikan bahwa usia desa igirmranak diperkirakan sudah sekitar 200 tahun dimulai hanya ada beberapa gubuk untuk berteduh sampai akhirnya menjadi sebuah desa seperti sekarang ini, dalam pembacaan sejarah desa disebutkan bahwa sampai saat ini sudah ada 9 orang yang menjabat sebagai kepala desa , ada yang menjabat satu periode ada juga yang sampai tiga periode.
Dalam kesempatan yang sama Ahmad FAtoni, Camat Kejajar menyampaikan bahwa Igirmrnranak sangat patut diapresiasi dalam upaya pelestarian budaya dan hasilnya dapat dilihat pada acara seperti ini, dimana semua pelakunya adalah warga desa sendiri, filosofi dalam setiap pernak perniknya juga sangat kaya akan falsafah jawa yang harus kita teladani.
Hal senada juga disampaikan oleh Harti Kepala Dinsos PMD yang hadir dalam kesempatan Merti Bumi tahun ini yang megusung “Gumregah sesarengan Mbangun Deso” beliau berharap agar diusia Desa Igirmranak yang sudah matang ini bisa mendatang kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga desa Igirmranak dan Wonosobo secara umum.
Biasanya dalam acara ini juga digelar kongres mata air bersama dengan Yayasan Puspa yang mendatangkan ratusan komunitas dari kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara untuk bersama membahas pelestarian mata air yang tahun demi tahun semakin banyak yang mengering dan hilang. Dalam kongres tersebut juga akan muncul rekomendasi bagi para pihak untuk upaya penyelamatan mata air dikawasan Dieng.
“Sayang sekali karena berbagai hal tahun ini dengan sangat terpaksa kongres mata air tidak bisa dilaksanakan,” ungkap Tlafrihan dari Yayasan Puspa yang setiap tahun membersamai pemdes Igirmranak untuk penyelenggaraan acara merti bumi dan kongres mata air.