[ad_1]
Mercusuar.co, Magetan – Dari buku cerita mitos Gunung Lawu dalam masyarakat jawa, karya Supriyanto yang diterbitkan tahun 2018. Masyarakat di sekitar Gunung Lawu percaya jika burung Jalak Lawu adalah jelmaan dari Wongso Menggolo yang setia menjalankan tugas dari Brawijaya untuk menjaga para pendaki Gunung Lawu agar tidak tersesat.
Burung Jalak Lawu atau Jalak Gading sering terlihat melompat lompat di jalur pendakian seolah memberikan panduan kepada pendaki. Bahkan sejumlah pendaki yang tersesat dalam perjalanan ke puncak Lawu memberikan kesaksian atas bantuan burung Jalak Lawu agar mereka bisa menemukan kembali jalur pendakian.
”Warga mempercayai bahwa burung Jalak Lawu merupakan perwujudan dari Wongso Menggolo, patih terakhir dari Raja Brawijaya ke V, yang tetap setia mengemban tugas untuk memberikan bantuan kepada anak cucu Brawijaya menuju puncak Gunung Lawu,” ujar Abdul Rohman, Penggiat Budaya Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi.
Bagi pecinta alam yang pernah mendaki ke Puncak Gunung Lawu dipastikan mengenal burung Jalak Lawu, burung yang dipercaya sebagai sahabat bagi pendaki. Sejumlah pendaki yang sempat tersesat di kawasan Gunung Lawu bahkan menceritakan ditolong oleh burung Jalak Lawu untuk menemukan kembali jalur pendakian.
Keberadaan burung Jalak Lawu bagi masyarakat di Magetan tak lepas dari kisah tutur tentang perjalanan Raja Brawijaya ke V yang mengasingkan diri ke kawasan Puncak Gunung Lawu kurang lebih 600 tahun lalu.
Abdul Rohman mengatakan, pada masa runtuhnya kerajaan Majapahit, Brawijaya V mendapat petunjuk untuk mengasingkan diri di Gunung Lawu, karena dipercaya bahwa Gunung Lawu merupakan gunung keramat bagi pulau Jawa.
“Dalam Sengkalan Sirnaning Kertaning Ilaning Bumi, merupakan masa runtuhnya kerajaan Majapahit dan bergantinya masa pengaruh islam, Brawijaya mendapat wangsit untuk mengasingkan diri ke Gunung Lawu,” ujarnya, ditemui di Pos Pendakian Cemoro Sewu, berapa waktu lalu.
Dalam perjalanan pengasingan ke puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya menemui kesulitan untuk menemukan jalan pendakian. Raja Brawijaya V bersama rombongan pasukannya sempat dihadang oleh Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo selaku punggawa desa di bagian utara Gunung Lawu. Mereka mengira desanya akan diserang oleh sekelompok pasukan yang mengiringi Brawijaya.
Namun setelah dijelaskan bahwa pasukan tersebut merupakan rombongan Raja Brawijaya V yang akan mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu, Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo kemudian turut mengantarkan sang raja menuju puncak Gunung Lawu. Berkat bantuan Wongso Menggola dan Dipo Menggolo, Raja Brawijaya berhasil mencapai Hargo Dumilah atau puncak Gunung Lawu.
Setelah berhasil mencapai Hargo Dumilah, Brawijaya kemudian bermukim dan melakukan kegiatan olah batin di puncak Gunung Lawu tersebut.
Pada suatu hari anak Brawijaya yang bernama Raden Gugur yang masih berusia sekitar 15 tahun lari menuju Gunung Lawu karena dikejar kejar oleh pasukan kadipaten Cepu. Adipati Cepu diperintah oleh Girindrawardhana, raja Majapahit yang berhasil menggulingkan kedudukan Brawijaya.
“Kisah tersebut terdapat di buku Girindrawardhana yang ditulis Djafar terbitan tahun 1978 dan buku politik kerajaa jawa dan hitam putih Majapahit yang ditulis Sri Wintala Achmad,” imbuhnya.
Setelah Raden Gugur berhasil mencapai puncak Lawu, Brawijaya kemudian memerintahkan pasukannya yang tersisa untuk menghadapi pasukan dari Kadipaten Cepu tersebut. Selain pasukan dari Kerajaan Majapahit, pertempuran melawan Kadipaten Cepu juga diikuti oleh pasukan Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo.
Pertempuran yang terjadi di Bulak Peperangan terjadi sangat dahsyat. Saking dahsyatnya pertempuran seluruh prajurit dari kedua musuh tidak ada yang selamat, hanya Raden Gugur, Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo yang masih hidup. Adipati Cepu yang selamat akhirnya memilih melarikan diri.
Lokasi bulak peperangan tersebut saat ini masih sering dikunjungi oleh para pendaki puncak Gunung Lawu sebagai literasi sejarah atas apa yang pernah terjadi. Lokasi bulak peperangan sendiri berada di sebelah utara dari puncak Hargo Dumilah atau berada disebelah Pasar Dieng atau Pasar Setan.
Atas kegigihan dari kedua pengikut barunya yaitu Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo saat menghadapai pasukan dari Kadipaten Cepu, Brawijaya V kemudian memanggil kedua pengikutnya tersebut untuk diangkat sebagai patih atau wakil dari Raja Brawijaya di Puncak Gunung Lawu. Yang pertama diangkat adalah Dipo Menggolo sebagai patih untuk menjaga Gunung Lawu dan penjaga 4 penjuru mata angin, karena di kerajaan yang berada di 4 mata angin tersebut akan muncul penguasa dari keturunan Brawijaya.
“Kita ketahui dari Demak, Pajang, Jipang Panolan bahkan Mataram itu merupakan keturunan dari Brawijaya V,” kata Rohman.
Sementara untuk Wongso Menggolo sendiri, Brawijaya V mengangkat patih dengan memberikan tugas membantu dan menolong keturunan serta anak cucunya kelak, agar selamat sampai di puncak Hargo Dumilah ketika mendaki puncak Gunung Lawu.
Mendapat tugas tersebut Wongso Menggolo merasa terharu sekaligus sedih, karena dalam percakapannya dengan Brawijaya V dia mengetahui bahwa olah batin yang dilakukan junjungannya tersebut akan segera berakhir.
“Dari catatan sejarah Prabu Brawijaya ke V tidak diketahui kapan meninggalnya dan dimana kuburnya. Prabu Brawijaya dipercaya mukso atau menghilang di puncak Gunung Lawu,” jelas Abdul Rohman.
Sedih karena ditinggal rajanya, Wongso Menggolo membulatkan tekat untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Brawijaya V sebaik mungkin. Kesetiaan Wongso Menggolo terhadap tugas yang diberikan oleh Brawijaya V untuk menjaga dan menolong anak keturunan Brawijaya ketika mendaki Gunung Lawu dipercaya menjelma kepada Jalak Lawu.
.
Dari studi identifikasi keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan JPLB pada tahun 2019 menyatakan bahwa burung jalak Lawu merupakan spesies endemik Gunung Lawu. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa Jalak Lawu lebih sering muncul pada sore hari di kawasan pos 2 yang memiliki ketinggian 700 mdpl.
Ciri dari burung Jalak Lawu atau warga sekitar Gunung Lawu menyebut jalak gading adalah memiliki bulu berwarna cokelat sementara bulu pada bagian dada berwarna kuning gading. Paruh dan kaki memiliki berwarna senada dengan warna pada bulu bagian dada, kuning gading. Burung Jalak Lawu terlihat jinak, karena sering terlihat terlalu dekat dengan pendaki, namun akan langsung terbang jika merasa terancam.
Keberadaan burung Jalak Lawu didukung oleh ketersediaan tanaman pakan yang subur di kawasan pos 2. Di ketinggian 700 mdpl tersebut tumbuh subur tanaman manis rejo, putat, rubus alpestris, rubus linaetus, rubus fraxinifolius poir, rubus niveus thunb dan rubus rosafolius yang menghasilkan buah dan biji bijian makanan Jalak Gading.
Sayangnya keberadaan Burung Jalak Lawu di Wukir Mahendra, nama lain dari Gunung Lawu mulai terancam populasinya. Menurut penelitian JPLB populasi jalak Lawu terus menyusut dikarenakan menurunnya kualitas habitat akibat eksploitasi hutan dan konversi lahan.
Burung Jalak Lawu yang memiliki nilai nilai ekonomi cukup tinggi berdasarkan keunikan dan keragaman morfologis, tingkah laku dan suara membuat angka perburuan burung tersebut juga cukup tinggi. Ditambah dengan kurangnya pengawasan terhadap perburuan liar burung Jalak Gading di pegunungan vulkanik tua yang secara geografis terletak pada posisi 7°30′ LS dan 111°15′ BT dengan luasan areal sekitar 15 ribu hektar semakin membuat populasinya terancam.(dj)
[ad_2]
Source link