Mercusuar.co, Banyumas – Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan Ahmad Tohari nampaknya masih kerap menggoda para pecinta karya sastra tanah air untuk membacanya. Buktinya baru-baru ini novel yang terbit perdana tahun 1982 ini telah kembali diterbitkan untuk cetak yang ke 19, (2022).
“Kemarin baru cetak yang ke 19. Cetak 2000 buku,” kata Ahmad Tohari, sastrawan sekaligus budayawan yang lahir pada 13 Juni 1948 kepada Mercusuar.co di rumahnya Desa Tinggarjaya Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas, Jum’at (21/10/2022).
Dalam perjalanannya, Ahmad Tohari sebagai penulis telah banyak melahirkan karya sastra yang tidak pernah lolos dari tangkapan para pecinta karya tulis sastra. Pecinta karya-karya Ahmad Tohari bukan saja dari tanah air, namun dari luar negri juga tidak kalah banyaknya. Hal demikian telah dibuktikan novel yang menjadi bagian Trilogi bersama novel Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986) telah dialih bahasakan ke dalam beberapa bahasa asing, diantaranya Inggris, Jerman, Jepang, dan Belanda.
“Novel saya yang satu ini sudah diterbitkan menggunakan bahasa asing. Diantaranya bahasa Inggris, Jerman, Jepang dan Belanda,” terang seniman yang hobi mancing ikan di sungai ini.
Sebagai penulis novel, cerpen, puisi bahkan esai dan berita, sosok moderat yang dibesarkan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ia selalu konsisten mengambil latarbelakang kemiskinan, ketertindasan, dan keterpinggiran. Alasannya sangat sederhana, karena semua karya yang dituangkan ke dalam cerita itu dilandasi dari perenungan dan rasa yang setiap hari ditemui dalam perjalan pengembaraan imajinasinya. Dalam kata lain Ahmad Tohari telah berhasil memilih suasana hati nurani yang paling dasar, yaitu kepedulian dan toleransi.
“Hal utama dalam hidup itu keperdulian dan toleransi. Kita harus lebih mengedepankan kepedulian, terutama pada kehidupan yang ada di bawah kita, yaitu kaum yang terpinggirkan, terbelakang, miskin dan sakit. Disamping kita juga harus menguatkan toleransi, karena seburuk apapun semua milik Tuhan. Itu yang mendasari tulisan saya selalu membidik wilayah itu,” terbangnya.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, novel tersebut mengisahkan perjuangan seorang penari di masa pergolakan komunis di negeri ini. Srintil yang lahir dan besar di lingkungan tradisi dan keyakinan yang kuat sebagai pegangan masyarakat saat itu. Ronggeng harus suci, harus selalu menjadi sosok yang sendiri, tidak menikah. Dan itu dipegang kuat oleh Srintil yang bercita-cita menjadi ronggeng, penari.
“Saya pernah diprotes oleh orang, kenapa saya sering mengangkat kehidupan orang-orang yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang nista, seperti pelacur contohnya. Sedang menurut dia saya berlatar belakang agama dengan baik. Jawaban say sederhana, saya nulis apa yang saya lihat,” ujarnya.(bersambung/Angga)