[ad_1]
Mercusuar.co, Salatiga – Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka Jawa Tengah, Atikoh Ganjar Pranowo, menghadiri Pelantikan dan Pengukuhan Majelis Pembimbing Cabang (Mabicab) dan Pengurus/ Andalan Gerakan Pramuka Kwartir Cabang (Kwarcab) Kota Salatiga Masa Bakti 2022-2027, di Ruang Kaloka Setda Kota Salatiga, Kamis (14/7).
Pj Walikota Salatiga Sinoeng N Rachmadi, dilantik sebagai Ketua Mabicab Salatiga dan Ketua Kwarcab Muh Haris.
Dalam kesempatan itu, Atikoh kembali menekankan agar Pramuka tidak berhenti berinovasi dan mengabdi tanpa henti. Pendidikan karakter dan pembekalan soft skill terus diberikan kepada anggota Pramuka, agar mereka tidak terpengaruh gangguan dari luar, termasuk antinarkoba. Sinergi dengan semua pihak pun mesti ditingkatkan.
Atikoh juga menekankan, pramuka yang kebanyakan beranggotakan generasi muda, diharapkan ikut berperan dalam penurunan stunting. Mereka diajak untuk bisa mencegah pernikahan usia dini, hingga mendapatkan pemahaman apa yang harus dilakukan sebelum dan sesudah menikah.
.
Menurut Atikoh, pencegahan stunting menjadi isu nasional. Bahkan Presiden RI Joko Widodo menargetkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 mendatang. Dalam hal ini, Pramuka juga turut berperan menurunkan stunting, karena tingkat kepemimpinan di masa yang akan datang dipegang para generasi muda. Sehingga, sumberdaya manusia berkualitas pun mesti dibangun sejak dini, salah satunya mencegah stunting.
“Stunting akan mempengaruhi SDM yang nanti akan menjadi tonggak estafet kepemimpinan masa depan, karena mempengaruhi kualitas kesehatan, kualitas otaknya, perkembangannya juga akan berpengaruh,” bebernya.
Untuk itu, Atikoh berharap, melalui adik-adik di SMP dan SMA, Pramuka bisa mengedukasi agar mereka memiliki cita-cita setinggi langit. Dengan cita-cita tinggi, pendidikan yang tinggi, tentu akan mengurangi adanya kawin bocah atau kawin usia dini. Sebab, kawin dini itu memiliki potensi berbahaya.
Secara anatomi, imbuhnya, organ reproduksi anak belum siap. Sehingga, jika dipaksakan menikah dan memiliki anak, akan berisiko terhadap kesehatan organ reproduksinya. Kedua, secara knowledge, pengetahuan asupan gizi apa yang dibutuhkan, bagaimana menjaga janin tetap sehat, itu juga masih kurang.
“Yang ketiga tentu dari sisi finansial, kemungkinan juga belum siap kalau itu untuk usia anak. Jadi harapannya menjadi influence, memberikan info, edukasi, dan semangat kepada yang ada di sekolahan-sekolahan itu. Karena kalau yang memberi edukasi teman-teman seumuran itu akan lebih masuk,” ujar Atikoh.
Tidak hanya itu, dia berharap Saka yang ada bisa mengedukasi ibu-ibu, karena kalau berbicara masalah stunting itu harus dikeroyok secara bersama-sama. Peran keluarga itu sangat penting dalam mencegah adanya pernikahan usia anak, serta memberikan pemahaman pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan yang menjadi kunci pencegahan stunting.
“Karena kalau sudah terjadi stunting akan susah di-treatment,” sorotnya.(cil)
[ad_2]
Source link